Minggu, 07 April 2019

MANAJEMEN KRISIS


Apa itu Manajemen Krisis?



Manajemen krisis adalah proses yang membahas organisasi dengan sebuah peristiwa besar yang mengancam merugikan organisasi, stakeholders, atau masyarakat umum. Ada tiga elemen yang paling umum untuk mendefinisi krisis: ancaman bagi organisasi, unsur kejutan, dan keputusan waktu singkat. Berbeda dengan manajemen risiko, yang melibatkan menilai potensi ancaman dan menemukan cara terbaik untuk menghindari ancaman. Sementara manajemen krisis berurusan dengan ancaman yang telah terjadi. Jadi manajemen krisis dalam pengertian yang lebih luas merupakan sebuah keterampilan teknis yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi, menilai, memahami, dan mengatasi situasi yang serius, terutama dari saat pertama kali terjadi sampai ke titik pemulihan kembali.

I. Definisi


Krisis adalah suatu emergency, namun tidak setiap emergency adalah suatu krisis. Krisis ditangani oleh manajemen terhadap krisis. Krisis adalah kondisi tidak stabil, yang bergerak kearah suatu titik balik, dan menyandang potensi perubahan yang menentukan. Sedangkan keadaan darurat (emergency) adalah kejadian tiba-tiba, yang tidak diharapkan terjadinya dan menuntut penanganan segera.

Jadi esensi manajemen krisis adalah upaya untuk menekan faktor ketidakpastian dan faktor risiko hingga tingkat serendah mungkin, dengan demikian akan lebih mampu menampilkan sebanyak mungkin faktor kepastiannya. Sebenarnya yang disebut manajemen krisis itu diawali dengan langkah mengupayakan sebanyak mungkin informasi mengenai alternatif-alternatif, maupun mengenai probabilitas, bahkan jika mungkin mengenai kepastian tentang terjadinya, sehingga pengambilan keputusanan mengenai langkah-langkah yang direncanakan untuk ditempuh, dapat lebih didasarkan pada sebanyak mungkin dan selengkap mungkin serta setajam (setepat) mungkin informasinya. Tentu saja diupayakan dari sumber yang dapat diandalkan (reliable), sedangkan materinya juga menyandang bobot nalar yang cukup.

Krisis adalah situasi yang merupakan titik balik (turning point) yang dapat membuat sesuatu tambah baik atau tambah buruk. Menurut Djamaluddin Ancok, jika dipandang dari kacamata bisnis suatu krisis akan menimbulkan hal-hal seperti berikut :
  1. Intensitas permasalahan akan bertambah.
  2. Masalah akan dibawah sorotan publik baik melalui media masa, atau informasi dari mulut ke mulut.
  3. Masalah akan menganggu kelancaran bisnis sehari-hari.
  4. Masalah menganggu nama baik perusahaan.
  5. Masalah dapat merusak sistem kerja dan menggoncangkan perusahaan secara keseluruhan.
  6. Masalah yang dihadapi disamping membuat perusahaan menjadi panik, juga tidak jarang membuat masyarakat menjadi panik.
  7. Masalah akan membuat pemerintah ikut melakukan intervensi.
Kesadaran akan dampak yang ditimbulkan oleh krisis sekaligus lemahnya dalam mengantisipasi datangnya sebuah krisis, menjadikan perlunya langkah-langkah antisipatif dalam sebuah kerangka kerja yang disebut manajemen krisis.

II. Kategori Krisis


Perlu diketahui memprediksi krisis memang sangat sulit, tapi mengidetifikasi macam-macam krisis sangatlah mudah dan bisa dikelompokkan. Lerbinger mengkategorikan ada tujuh jenis/tipe krisis :
  • Bencana alam
  • Teknologi krisis
  • Konfrontasi
  • Kedengkian (Malevolence)
  • Krisis karena Manajemen yang Buruk (Crisis of skewed management value)
  • Krisis adanya penipuan (deception)
  • Kesalahan manajemen (management misconduct).
Bencana alam atau Krisis alam yang sering dianggap sebagai tindakan dan kehendak Tuhan (the act of God) merupakan fenomena lingkungan seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, tornado, badai, banjir, tanah longsor, tsunami yang mengancam kehidupan, harta, dan lingkungan itu sendiri.

Krisis Teknologi merupakan krisis yang timbul atau terjadi akibat aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi (application of science). Bencana tehnologi biasanya terjadi apabila terjadi kesalahan satu sistem yang mengakibatkan gangguan pada sistem yang lain sehingga merusak keseluruhan tehnologi. Krisis teknologi sering terjadi karena kesalahan manusia (human error) mengingat semakin kompleksnya jalinan antar sistem tehnologi. Ketika terjadi bencana tehnologi, orang selalu mudah dan cenderung menyalahkan tehnologi karena adanya kegagalan dalam sistem sebagai alasan pembenaran untuk menghindari pertanggungjawaban atas bencana terjadi.

Krisis konfrontasi terjadi ketika ada usaha perlawanan oleh individu atau beberapa individu kepada pemerintah dan atau kepada berbagai kelompok kepentingan untuk memenuhi tuntutan dan harapan mereka. Jenis umum krisis konfrontasi adalah berupa boikot, sabotase, pendudukan, ultimatum, blokade atas pembangunan pekerjaan dan demontrasi.

Sebuah organisasi menghadapi krisis kedengkian kalau ada pihak atau lawan saingan menggunakan cara-cara kriminal atau tindakan-tindakan ekstrem lainnya seperti berbuat represif dan mengancam untuk mengekspresikan permusuhan, kemarahan dan ketidaksukaan dengan tujuan membuat situasi menjadi tidak stabil baik kepada negara, organisasi, perusahaan, atau sistem ekonomi supaya sistem tidak berjalan. Contoh krisis yang termasuk dalam kategori ini adalah tindakan terorisme, premanisme, perusakan produk, penculikan, menyebarkan rumor, dan aksi spionase.
Krisis selanjutnya adalah krisis karena kelakuan buruk organisasi. Krisis ini terjadi ketika manajemen mengambil tindakan yang sengaja akan merugikan stakeholder tanpa memperdulikan risiko atas tindakan yang dilakukannya. Lerbinger membagi ada tiga jenis krisis kelakuan buruk organisasi, yaitu krisis nilai manajemen yang miring (skewed of management value), krisis penipuan (deception), dan krisis kesalahan manajemen (misconduct).

Pertama, Krisis nilai-nilai manajemen yang miring muncul saat manajer membuat kebijakan demi keuntungan ekonomi jangka pendek dan mengabaikan nilai-nilai sosial yang lebih luas seperti investor dan para stakeholder.
Kedua, Krisis penipuan terjadi ketika manajemen menyembunyikan atau salah mengartikan informasi tentang dirinya sendiri dan produknya kepada para konsumennya.
Ketiga, Beberapa krisis tidak hanya disebabkan karena adanya nilai-nilai miring manajemen dan penipuan melainkan juga karena adanya perbuatan melawan hukum yang disengaja dilakukan atau bertindak ilegal.

III. Peran Media di Masa Krisis


Di era informasi seperti sekarang ini semua aspek kehidupan tidak dapat dilepaskan dari media. Ketergantungan akan media sudah menjadi bagian dari kebutuhan hidup manusia, karena media merupakan sumber dan pengolah informasi yang dibutuhkan masyarakat. Bahkan menurut Dennis McQuillmedia telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial tetapi bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Informasi yang disajikan media telah cukup membantu dalam memenuhi keingintahuan orang terhadap suatu hal atau kejadian yang sedang berlangsung sekalipun tidak bisa merasakan atau melihat langsung. Dalam konteks informasi yang berkaitan dengan krisis, tentu saja intensitas perhatian orang akan meningkat dan akan selalu mengikuti informasi perkembangannya. Dalam hal ini, media akan menjadi satu-satunya sumber informasi untuk mengumpulkan, mengolah dan bahkan menafsirkan informasi. Karena sebagai satu-satunya sumber, media bebas mengarahkan kemana informasi ini ingin dibentuk apakah untuk membangun solidaritas, simpati, membangun kesadaran bersama (being together), atau mereduksi ketidaktentuan (uncertainity) dan ketakutan (fear) masyarakat. Tentu saja hal itu tergantung pada jenis dan macam krisis yang terjadi. Namun yang jelas bahwa informasi yang berkaitan dengan krisis media mempunyai peran yang sangat besar dalam membentuk opini dan simpati publik.

Penelitian mengenai peran media massa di masa krisis telah banyak dilakukan oleh banyak ahli terutama ketika krisis sedang berlangsung. Pemberitaan media mengenai krisis yang tengah berlangsung sangat dibutuhkan banyak orang karena kemampuannya menyajikan informasi, interpretasi dan membangun solidaritas. Fungsi solidaritas yang dibangun oleh media dipandang tidak sekedar memerankan fungsi pengawas (watchdog) selama krisis berlangsung, namun juga fungsi membangun kesadaran tanggungjawab sosial (sosial responsibilty) di antara publik.

IV. Penyebab Krisis


Mengenali jenis atau tipe krisis penting mengingat masalah penentuan siapa yang bersalah dan respon yang harus dibuat perusahaan yang sedang menghadapi krisis. Berikut ini adalah beberapa tipe krisis yang dikemukakan para pakar menggunakan berbagai dimensi (Putra, 1999:90-94):
  • Sturges dkk – Dimensi violent-non violent dan dimensi sengaja-tak sengaja.
  • Shrivastava & Mitroff – Dimensi kerusakan yang dihasilkan (berat/ringan) dan dimensi penyebab krisis dari segi teknis dan sosial.
  • Marcus & Goodman – Dimensi tingkat kemungkinan ditolak dan berdasarkan keadaan korban krisis.
  • C.G. Linke – Dimensi waktu kemunculan sebuah krisis.
Shrivastava & Mitroff membagi krisis ke dalam empat kategori berdasarkan penyebab krisis dikaitkan dengan tempat krisis. Penyebab krisis dapat dikategorikan menjadi dua bagian besar: penyebab teknis dan ekonomis serta penyebab manusiawi, organisatoris dan sosial. Mereka juga mengkategorikan penyebab krisis dilihat dari sudut tempat asal atau kejadian apakah di dalam atau di luar organisasi.

Dengan demikian, penyebab krisis menurut mereka dapat dikategorikan menjadi:
  1. Karena kesalahan manusia (human error)
  2. Karena kegagalan teknologi
  3. Karena alasan sosial (kerusuhan, perang, sabotase, teroris)
  4. Karena berkaitan dengan bencana alam
  5. Karena ketidakbecusan manajemen
Sebuah krisis mungkin disebabkan hanya satu faktor, tetapi sangat sering terjadi krisis akibat kombinasi faktor-faktor di atas. Contohnya adalah kasus kecelakaan Bhopal di bulan Desember 1984. 40 ton gas beracun methyl isocyanate bocor dari tank penyimpan bawah tanah pada pabrik pestisida Union Carbide dan menewaskan 3000 orang serta ratusan ribu orang terkena radiasinya. Di sini, ada faktor kesalahan manusia karena membiarkan masuknya air ke dalam tank yang menyebabkan peledakan. Namun juga ada kegagalan teknologi akibat rancangan pabrik tersebut tidak memperhitungkan kemungkinan human error yang terjadi serta tidak berfungsinya mekanisme penyelamat. Faktor dominan penyebab ledakan tersebut adalah masalah manajerial berupa kurangnya prosedur penyelamatan serta kurangnya latihan operator. Secara sosial pun proyek ini kurang layak karena pemerintah India mengijinkan pabrik ini beroperasi di kawasan perkampungan yang padat.

Dalam buku Rosady Ruslan (1999:99-100) diberikan beberapa contoh peristiwa yang berpotensi menjadi krisis sebagai berikut:
  1. Masalah pemogokan atau perselisihan perburuhan.
  2. Produk kedapatan tercemar/terkontaminasi menjadi racun yang membahayakan masyarakat sebagai konsumennya.
  3. Desas-desus atau rumor dan meluasnya berita yang bersifat negatif atau terciptanya opini publik yang kurang menguntungkan.
  4. Masalah pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup dan alam yang disebabkan ulah manusia, serta kecelakaan industri.
  5. Kredit macet, issue kalah kliring, likuidasi dan deposito akan dikonversikan menjadi obligasi di bank-bank pemerintah atau swasta yang pada akhirnya dapat terjadi rush sehingga menurun-kan kepercayaan dan citra perbankan nasional, krisis moneter serta berakibat resesi ekonomi.
  6. Kecelakaan industri atau jatuhnya sebuah pesawat yang mengakibatkann kerugian harta benda dan korban jiwa, serta menimbulkan peristiwa traumatik atas jasa perusahaan penerbangan bersangkutan.
  7. Perubahan peraturan perundangan-undangan atau kebijakan pemerintah yang menyebabkan pihak perusahaan mengalami kerugian atau kebangkrutan bisnis.
  8. Peristiwa menakutkan yang diakibatkan oleh serangan teroris, masalah sara, krisis moneter, sosial dan politik, sehingga menimbulkan kasus penjarahan, pembakaran, dan sebagainya yang berkait dengan masalah sensitif atau timbulnya kasus-kasus sangat peka lainnya di masyarakat.
  9. Kegagalan dari suatu kampanye, promosi periklanan atau publikasi menimbulkan dampak negatif; seperti adanya unsur penipuan, pelecehan dan penghinaan sehingga terjadi protes atau kecaman dari masyarakat luas.
Maria Wongsonagoro (1995:1) menambahkan beberapa sebab terjadinya krisis (yang beberapa di antaranya sudah disebutkan di atas):
  1. Krisis persepsi masyarakat, yakni negatifnya opini publik terhadap perusahaan.
  2. Krisis akibat pergeseran pasar yang terjadi dengan tiba-tiba dan perusahaan dapat kehilangan pangsa.
  3. Krisis yang menyangkut produk, entah itu akibat salah satu produksi atau produk terkena issue sehingga citranya jatuh, dan sebagainya.
  4. Krisis yang diakibatkan oleh pergeseran pimpinan.
  5. Krisis yang ditimbulkan oleh masalah keuangan.
  6. Krisis yang menyangkut hubungan industri, apakah itu urusan tenaga kerja, keselamatan kerja, lingkungan dan sebagainya.
  7. Krisis yang diakibatkan pengambilalihan perusahaan oleh perusahaan lain dalam suasana permusuhan atau hostile takeover.
  8. Krisis yang diakibatkan oleh peristiwa-peristiwa internasional yang berdampak negatif terhadap perusahaan.
  9. Krisis yang disebabkan oleh peraturan-peraturan baru yang digariskan oleh pemerintah atau deregulasi.
Bila perusahaan kita bergerak dalam bidang manufaktur (terutama jika ada produk-produk yang berhubungan dengan lingkungan dan medis), transportasi, produk makanan, penginapan dan konstruksi, resiko mengalami krisis sangat tinggi. Karena itu, bagi mereka yang bekerja pada perusahaan-perusahaan di atas harus mempersiapkan diri terhadap kemungkinan terjadinya krisis.

V. Akibat dari Krisis


Dalam Rosady Ruslan (1999:73), disebutkan situasi krisis pada suatu perusahaan atau organisasi akan menimbulkan hal-hal sebagai berikut:
  1. Meningkatkan intensitas masalah.
  2. Menjadi sorotan publik, baik melalui liputan media massa, informasi yang disebarkan melalui mulut ke mulut.
  3. Mengganggu kelancaran kegiatan dan aktivitas bisnis sehari-hari serta mengganggu nama baik serta citra perusahaan.
  4. Merusak sistem kerja, etos kerja dan mengacaukan sendi-sendi perusahaan secara total yang mengakibatkan lumpuhnya kegiatan.
  5. Membuat masyarakat ikut-ikutan panik.
  6. Mengundang campur tangan pemerintah, yang mau tidak mau harus turut mengatasi masalah yang timbul.
  7. Dampak atau efek dari krisis tersebut, tidak saja merugikan perusahaan yang bersangkutan, tetapi juga masyarakat tertentu atau lainnya ikut merasakan akibatnya.

VI. Tahapan Krisis


Steven Fink, pakar dan konsultan krisis dari Amerika Serikat mengembangkan konsep anatomi krisis menggunakan terminologi kedokteran yang biasa dipakai untuk melihat stadium suatu krisis yang menyerang manusia. Empat tahap perkembangannya adalah sebagai berikut (Kasali, 2003:225-230):
  • Tahap Prodromal
  • Tahap Akut
  • Tahap Kronik
  • Tahap Resolusi (penyembuhan)
Masing-masing tahap itu saling berhubungan dan membentuk siklus. Lamanya masing-masing tahap itu sangat tergantung pada sejumlah variabel, sama seperti ketika seorang dokter menangani pasiennya. Kadang-kadang keempat fase berlangsung singkat, seperti seseorang yang terjangkit flu ringan sembuh setelah beristirahat sehari penuh. Namun adapula yang harus beristirahat hingga satu bulan. Juga ada yang langsung meninggal dunia ketika flu berat menyerang saat kondisi fisiknya sangat lemah. Hal yang sama bisa menimpa perusahaan bila terjadi krisis, yakni dari hanya terganggunya kinerja perusahaan hingga pembubaran perusahaan.

1. Tahap pertama – Periode Krisis Prodromal

Suatu krisis besar biasanya bermula dari krisis kecil sebagai pertanda atau gejala awal yang akan menjadi suatu krisis sebenarnya yang bakal muncul di masa yang akan datang. Tahap ini disebut warning stage karena ia memberi tanda bahaya mengenai simtom-simtom yang harus segera diatasi. Mengacu pada definisi krisis, tahap ini juga merupakan bagian dari ‘titik balik’ (turning point). Manajemen yang gagal menangkap sinyal akan membuat krisis memasuki tahap yang lebih serius, yakni krisis akut. Oleh karen itu, tahap ini disebut juga sebagai tahap prakrisis (precrisis). Tahap prodromal biasanya muncul dalam salah satu dari tiga bentuk ini:
  • Jelas sekali. Gejala-gejala awal terlihat jelas. Misalnya ketika karyawan datang ke manajemen untuk meminta kenaikan gaji, perbedaan pendapat di antara direksi, kerusakan alat di pabrik (internal); selebaran gelap di masyarakat (eksternal).
  • Samar-samar. Gejala yang muncul tampak samar-samar karena sulit menginterpretasikan dan menduga luasnya suatu kejadian. Misalnya deregulasi, munculnya pesaing baru, ucapan pembentuk opini kadang-kadang tidak langsung terasa dampaknya pada perusahaan, namun dapat menjadi masalah besar di kemudian hari.
  • Sama sekali tidak terlihat. Gejala-gejala krisis bisa tak terlihat sama sekali. Misalnya kerugian yang dialami salah satu produk atau salah satu lini yang dirasakan wajar oleh sebuah perusahaan. Namun yang terpikirkan oleh perusahaan tersebut adalah seberapa jauh kerugian itu dapat menjadi kanibal seperti kasus Bank Summa yang menelan saham keluarga Suryadjaya pada PT. Astra Internasional.
Meskipun krisis pada tahap ini sangat ringan, pemecahan dini secara tuntas sangat penting karena masalahnya masih mudah ditangani dan belum menimbulkan komplikasi.

2. Tahap kedua – Periode Krisis Akut

Bila prakrisis tidak terdeteksi dan tidak segera diambil tindakan yang tepat, maka akan timbul masalah yang lebih fatal. Di tahap ini orang mengatakan “telah terjadi krisis”. Meski bukan di sini awal mulanya krisis, orang menganggap suatu krisis dimulai di sini karena gejala yang samar-samar atau sama sekali tidak jelas tadi mulai terlihat jelas. Contoh kasus krisis pusat reaktor nuklir Three Mile Island di Pennsylvania, AS. Pers menyebut krisis mulai muncul tanggal 28 Maret 1979 ketika reaktor tersebut mengalami kebocoran yang menimbulkan efek radiasi. Tetapi sebenarnya krisis sudah muncul 13 bulan sebelumnya ketika para karyawan menemukan kebocoran kecil yang dapat diatasi saat itu. Tanggal di atas adalah ketika krisis sudah memasuki tahap akut. Tahap ini sering disebut the point of no return. Artinya, jika sinyal-sinyal yang muncul pada tahap prodromal tidak digubris, maka ia akan masuk ke tahap akut dan tidak bisa kembali lagi. Kerusakan sudah mulai bermunculan, reaksi mulai berdatangan, issue menyebar luas. Salah satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis pada tahap akut adalah intensitas dan kecepatan serangan yang akan datang dari berbagai pihak yang menyertai tahap ini. Kecepatan ditentukan oleh jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan intensitas ditentukan oleh kompleksnya permasalahan. Tahap akut adalah tahap antara, yang paling pendek waktunya dibanding dengan tahap-tahap lainnya, tetapi merupakan masa yang cukup menegangkan dan paling melelahkan bagi tim yang menangani masalah krisis tersebut. Bila ia lewat, maka umumnya akan segera memasuki tahap kronis.

3. Tahap ketiga – Periode Krisis Kronis

Berakhirnya tahap akut dinyatakan dengan langkah-langkah pembersihan sehingga tahap ini juga sering disebut sebagai fase pembersihan. Peristiwa pun sudah diberitakan dengan jelas di media massa. Tahap ini juga merupakan masa pemulihan citra dan upaya meraih kembali kepercayaan dari masyarakat, di samping juga merupakan masa untuk mengadakan “introspeksi” ke dalam dan keluar mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi (recovery & self analysis).

VII. Langkah-langkah Pengendalian dan Pengelolaan Krisis


Pada saat krisis melanda perusahaan atau organisasi, sebagai tindakan korektif ada beberapa tahapan langkah strategi atau kiat penanggulangan krisis (Rosady Ruslan, 1999:76-78), yaitu:

  • Mengidentifikasi krisis
  • Menganalisis krisis
  • Mengatasi krisis
  • Mengevaluasi krisis

1. Mengidentifikasi Krisis

Langkah ini merupakan penetapan untuk mengetahui (mengidentifikasi) suatu masalah krisis. Ini penting untuk melihat secara jelas faktor penyebab (factfinding) timbulnya krisis. Mengidentifikasi suatu faktor penyebab terjadinya krisis berfungsi untuk mengetahui, apakah public relations atau perusahaan dapat menangani krisis yang terjadi itu segera atau tidak. Seperti seorang dokter mendiagnosis suatu penyakit pada pasiennya, untuk mengetahui apakah bisa disembuhkan, dikurangi penyakitnya atau sama sekali tidak bisa disembuhkan. Bila krisis tersebut sulit untuk diatasi, membuang waktu, tenaga, dan biaya maka PR melihat segi lain dari krisis tersebut yang persoalannya tidak terbayangkan sebelumnya, yakni biasanya suatu perusahaan yang terkena krisis atau musibah disertai kemunculan masalah lain yang tidak diduga sebelumnya. Oleh karena itu, faktor utama penyebab krisis yang signifikan tersebut harus terlebih dahulu diidentifikasikan, untuk diambil tindakan atau langkah-langkah penanggulangan atau jalan keluarnya secara tepat, cepat dan benar.

2. Menganalisis Krisis

Mungkin perlu pengembangan dalam menggunakan formula 5W + 1H untuk mengung-kapkan dan menganalisis secara mendalam sistematis, informatif dan deskriptif krisis yang terjadi melalui suatu laporan yang mendalam (in-depth reporting). Pada saat prakrisis atau masa akut krisis, bisa dianalisis melalui beberapa pertanyaan yang diajukan untuk menetapkan penanggulangan suatu krisis, yakni:
  1. What - Apa penyebab terjadinya krisis itu
  2. Why – Kenapa krisis itu bisa terjadi
  3. Where and when – Dimana dan kapan krisis tersebut mulai
  4. How far – Sejauh mana krisis tersebut berkembang 
  5. How – Bagaimana krisis itu terjadi
  6. Who – Siapa-siapa yang mampu mengatasi krisis tersebut, apa perlu dibentuk suatu tim penanggulangan krisis
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas adalah untuk menganalisis penyebab, mengapa dan bagaimana, sejauh mana perkembangan krisis itu terjadi, di mana mulai terjadi hingga siapa-siapa personel yang mampu diajak untukn mengatasi krisis tersebut. Langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk mengatasinya melalui analisis lapangan secara logis, informatif dan deskriptif. Setelah itu, PR beserta “team work yang solid” menarik suatu kesimpulan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif selanjutnya mengambil rencana tindakan (action plan) berikutnya baik dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Dalam jangka pendek, misalnya pada kasus biskuit beracun yang terjadi di pasar dan beberapa anggota keluarga konsumen tercatat sebagai korbannya. Tindakan pertama (main action) dari pihak perusahaan adalah penarikan segera semua biskuit (product recall) di pasar, baik yang tercemar maupun tidak tercemar racun, untuk menghindarkan jatuhnya korban baru secara cepat dan tepat. Tindakan ini diambil bukan untuk melihat penyebab, tetapi menangani langsung dengan menarik produknya. Tahap berikutnya, baru diidentifikasi awal terjadinya mulai dari mana (where) dan kapan (when) diketemukannya malapetaka tersebut. Lalu, sejauh mana perkembangan krisis tersebut di mata masyarakat dan pers. Sebaiknya tindakan pertama dan sekaligus cukup efektif, pihak perusahaan langsung menyantuni para korban. Cara tersebut merupakan salah satu peredam pendapat yang kontroversial dan mengurangi tekanan dan sorotan masyarakat yang berlebihan melalui tindakan simpatik.

3. Mengatasi dan Menanggulangi Krisis

Dalam hal ini perlu untuk mengetahui bagaimana dan siapa-siapa personel yang mampu diikutsertakan dalam suatu tim penanggulangan krisis. Mengatasi krisis dalam jangka pendek sudah disebutkan di atas, maka dalam jangka panjang, yaitu untuk selanjutnya bagaimana krisis tersebut tidak berkembang dan dicegah agar tidak terulang lagi di masa mendatang. Terjadinya malapetaka biskuit beracun tersebut, misalnya karena adanya pencampuran tidak sengaja antara karung bekas “potas” yang diisi tepung untuk bahan biskuit. Informasi mengenai adanya ketidaksengajaan pencampuran antara bekas karung bubuk racun (potas) dengan tepung (contamination), perlu diungkapkan secara jelas kepada pihak masyarakat, khususnya pihak pers agar bisa memberitakan secara objektif dan jangan menutup-nutupi informasi yang sebenarnya (not to kill the information), akibatnya bisa fatal dan masalah pokoknya tidak akan selesai dengan tuntas.

Hal di atas tidak hanya akan merugikan nama, produk dan citra perusahaan bersangkutan, tetapi akan berdampak negatif ke perusahaan lainnya yang tidak bersalah sama sekali, melalui contagious mentality dari mulut ke mulut. Untuk mengatasinya, selain memberikan informasi yang sejelas-jelasnya, juga perlu diajak pihak ketiga, pejabat pemerintah yang berwenang dalam hal ini, tokoh masyarakat dan lainnya sebagai upaya menetralisasi terhadap tanggapan negatif dan kontroversial. Karena dianggap sebagai kekuatan, pihak ketiga berfungsi mengukuhkan perbaikan situasi dan kondisi krisis (the third party endorsement), secara tepat dan benar. Kemudian, tindakan lainnya secara preventif dan antisipatif adalah memperbaiki sistem pengamanan agar lebih ketat dan terjamin dalam proses atau rangkaian produksi, mulai dari bahan baku, pengolahan hingga barang jadi untuk menghindarkan kejadian serupa di kemudian hari.

4. Mengevaluasi Krisis

Tindakan terakhir adalah mengevaluasi krisis yang terjadi. Tujuannya adalah untuk melihat sejauh mana perkembangan krisis itu di dalam masyarakat. Apakah perkembangan krisis tersebut berjalan cukup lamban atau cepat, meningkat secara kuantitas maupun kualitas serta bagaimana jenis dan bentuk krisis yang terjadi? Kasus yang terjadi cukup menarik perhatian pihak ketiga, seperti tanggapan, kritikan, bahkan kecaman dari sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama, politik, pengamat dan pihak pers. Khususnya pihak pers, bila terjadi suatu persoalan krisis yang muncul (prakrisis) dan kemudian meledak menjadi krisis akbar, menjadi perhatian utama dengan pemberitaan yang gencar mengenai krisis itu akan cepat menarik perhatian dan sorotan masyarakat. Persoalan tidak akan selesai dan tuntas, tetapi malah menjadi beban perusahaan yang bersangkutan karena persoalan krisis yang sebenarnya tersamar dan menyeret persoalan lain yang tidak ada hubungannya dengan masalah pokok krisis.

Berita krisis tersebar luas tanpa kendali, dengan berbagai tanggapan dan pendapat yang tidak didukung oleh fakta yang objektif, kadangkala didramatisasi sedemikian rupa sehingga menarik perhatian (sensasional) bagi semua pihak. Untuk itu perlu tindakan pencegahan dan pengisolasian krisis, agar tidak meluas tanpa kendali dengan teknik PR dengan tujuan untuk mengantisipasi krisis yang terjadi.

VIII. Contoh Perusahaan yang Pernah Dilanda Krisis yang Cukup Rumit dan Pelik


KASUS TYLENOL DI AMERIKA SERIKAT (1982)


Kasus Tylenol merupakan sebuah kasus pembunuhan menggunakan racun dan menewaskan tujuh orang setelah mengkonsumsi kapsul pereda rasa sakit bernama Tylenol yang telah dicampur dengan SianidaRacun yang berada dalam produk ini disebut TYMURS oleh FBI, dan terjadi di bulan September dan awal Oktober 1982 di Chicago , Amerika Serikat. Kapsul Tylenol ini sendiri merupakan produksi dari McNeil Consumer Healthcare yang kemudian menjadi anak perusahaan dari Johnson & Johnson. Sebuah penawaran besar berupa US$ 100.000 bagi siapa saja yang berhasil menemukan dan menangkap tersangka dari kejahatan ini tidak pernah diklaim hingga sekarang.


1. Latar Belakang


a. Peristiwa Pembunuhan

Pada tanggal 30 September 1982, Johnson & Johnson mengumumkan adanya empat korban tewas setelah mengkonsumsi kapsul Tylenol yang telah dicampur dengan sianida. Korban tersebut bernama Mary Kellerman, seorang anak berusia dua belas tahun dari Illinois disusul oleh Adam Janus yang meninggal tak berselang lama denganya. Kakak Adam yang bernama Stanley dan istrinya, Theressa yang meninggal setelah mengurus pemakaman Adam dan mengkonsumsi obat yang sama, dan dua hari kemudian, terdapat tiga korban lainya, Mary McFarland dari Elmhurst, Illinois, Paula Prince dari Chicago, dan Mary Reiner dari Winfield yang juga tewas dengan sebab yang sama. Investigasi lebih lanjut dengan cepat menemukan hubungan antara produk yang saat itu merupakan produk kesehatan terlaris dengan kematian tujuh korban iniPolisi dengan cepat memberikan peringatan darurat menggunakan Loudspeaker dan berkendara mengelilingi kota Chicago.

Kemasan botol produk yang berasal dari pabrik yang berbeda-beda dan korban tewas yang semuanya berasal dari daerah Chicago menimbulkan kemungkinan bahwa terjadi sabotase dalam kejadian ini. Tersangka diduga pergi dan memasuki berbagai supermarket dan Apotik dalam kurun waktu seminggu, membeli kemudian merusak kemasan produk kemudian memasukan sianida kedalamnya kemudian mengganti lagi kemasan tersebut dengan kemasan yang baru. Pada tanggal 5 Oktober 1982, pihak Johnson & Johnson menarik seluruh produk Tylenol dari pasaran dan menghentikan produksi di seluruh pabrik mereka dengan perkiraan 31 juta produk dan kerugian sebesar US$ 100.000.000. Perusahaan juga mengeluarkan iklan di media massa agar masyarakat tidak membeli lagi semua produk mereka yang mengandung Parasetamol. Ketika sudah terbukti hanya Tylenol berbentuk tablet saja yang mengandung racun, perusahaan menawarkan pergantian Tylenol yang telah dibeli konsumen dengan produk yang sama berbentuk tablet padat.

b. Akibat yang Ditimbulkan

Tylenol bukan hanya obat biasa. Pada era 1970 produk ini merupakan produk dengan penjualan terbesar (mengalahkan pasta gigi procter & gamble yang telah mendominasi selama delapan belas tahun). Dengan pendapatan tahunan mencapai US$1,2 billiun, produk ini menguasai 37 persen pasar Amerika.Insiden ini mengakibatkan produk kehilangan 30 persen pasar mereka dan hanya butuh waktu enam bulan bagi kapsul ini untuk bangkit kembali dan berhasil meraih kepercayaan konsumen setia mereka.
Berbagai media memberikan respon positif bagi Johnson & Johnson, terutama karena penanganan krisis yang baik dan tepat. Sebagai contoh, The Washington Post berkata "Johnson & Johnson telah berhasil memberikan penanganan ketika perusahaan besar menghadapi bencana," pada artikel selanjutnya, "Ini (Tylenol) merupakan kasus yang direspon tiga langkah lebih baik daripada yang seharusnya dilakukan" dan memuji perusahaan karena bersikap jujur dan terbuka pada masyarakat.
Pemimpin Johnson & Johnson saat itu, James Burke mempelopori usaha untuk kembali memenangkan kepercayaan masyarakat :
  • Selain memerintahkan untuk menarik kembali semua produk, Burke juga selalu konsisten berada di media, mengadakan news conferense dan masuk ke dalam program seperti 60 Minutes dan Donahue. Selain itu, jurnalis juga diberikan video termasuk pengarahan yang dilakukan perusahaan dan footage yang menunjukkan bagaimana proses pembuatan Tylenol.
  • Pemberitaan internal perusahaan juga menyediakan video tindak lanjut. versi dalam video ini juga menceritakan proses bagaimana Tylenol masuk ke tingkat pengecer dan grosir.
  • 800 saluran telepon dibuat agar konsumen dapat bertanya kepada perusahaan mengenai kasus yang terjadi dan produk baru mereka.
  • Perusahaan mengakui kesalahan mereka dihadapan hukum dan menindak lanjuti investigasi tersangka dengan menawarkan US$ 100.000 sebagai imbalan bagi yang berhasil menemukan dan menangkap pelaku.
  • Dalam kurun waktu lima minggu, perusahaan meluncurkan Tylenol dengan kemasan baru, memasukkan produk kembali ke rak-rak toko dengan kemasan yang tiga kali lebih baik dari sebelumnya.
  • Perusahaan memasarkan Tylenol versi baru ini dengan agresif, seperti memberi delapan juta kupon untuk setiap pembelian US$2.5 produk Tylenol apapun, dan meluncurkan iklan layanan masyarakat berisi testimoni konsumen yang tetap setia dengan Tylenol.

2. Deskripsi Kasus


Johnson & Johnson didirikan pada tahun 1886, J & J adalah perusahaan multinasional produsen farmasentika , peralatan medis, dan barang konsumsi yang bermarkas di New Brunswick, New Jersey, Amerika Serikat. Perusahaan ini memiliki 230 anak perusahaan, beroperasi di 57 negara, dan memperkerjakan sekitar 116.200 pekerja. Produk-produknya dijual di lebih 175 negara.


September 1982, Tylenol salah satu produk J & J terkontaminasi oleh racun sianida menyebabkan tujuh orang meninggal di Chicago dan disusul dengan kejadian serupa pada tahun 1986 yang menewaskan satu orang secara misterius. Hasil otopsi yang dilakukan oleh tim forensik menunjukkan bahwa kesemua orang tersebut meninggal diakibatkan oleh racun sianida, yang dimasukkan secara sengaja oleh orang yang tidak bertanggung jawab ke dalam kapsul obat merek Tylenol yang notabene diproduksi oleh Johnson & Johnson’s.

Awalnya temuan ini dibantah oleh perusahaan akibat salah komunikasi namun keesokan harinya diumumkan langsung kepada media massa. Dugaan sementara adalah ada sekolompok orang yang membeli Tylenol dalam jumlah besar kemudian membubuhi sianida kedalamnya lalu menjual kembali Tylenol ke pasar. Perusahaan meyakini bahwa pembubuhan sianida bukan terjadi di pabrik Fort Washington, Pennsylvania, namun perusaahn tidak mau menannggung resiko dan memutuskan untuk menarik kembali peredaran semua 93.000 botol dari batch itu yang dibubuhi racun. Semua kegiatan promosi Tylenol pun dibatalkan.

Belakangan diketahui bahwa orang yang memasukan racun sianida tersebut adalah mantan karyawan perusahaan yang sakit hati karena di PHK. Kasus meninggalnya konsumen tersebut merupakan suatu tragedi yang menghebohkan dan menjadi sorotan luar biasa oleh media massa dan masyarakat Amerika Serikat. Hal tersebut kemudian diikuti laporan tentang berbagai penyakit dan kematian sebagai akibat mengkonsumsi kapsul Tylenol.

Tylenol adalah obat rasa nyeri yang di produksi oleh McNeil Consumer Product Company yang kemudian menjadi bagian anak perusahaan Johnson & Johnson. Tingkat penjualan Tylenol sangat mengagumkan dengan pangsa pasar 35% di pasar obat analgetika peredam nyeri, atau setara dengan 7% dari total penjualan grup Johnson & Johnson dan kira-kira 15 hingga 20% dari laba perusahaan itu.

Dampak negatif tidak hanya menghantam J&J sehingga berkembang krisis kepercayaan dan hilangnya citra perusahaan tersebut, tapi juga menimbulkan kepanikan luar biasa di masyarakat yang selama ini merasa telah mengkonsumsi tylenol dan akhirnya perusahaan sejenis lain ikut terimbas dampak negatifnya akibat untuk sementara waktu konsumen tidak mau membeli obat sejenis.

3. Kenapa Kasus Bisa Terjadi?


Kasus bermula pada bulan September 1982, di mana tylenol yang merupakan salah satu produk Johson & Johson terkontaminasi oleh racun sianida dan menyebabkan tujuh orang meninggal di Chicago. Kasus meninggalnya konsumen tersebut menjadi sorotan oleh media massa dan masyarakat Amerika Serikat dan diikuti tentang berbagai laporan dan pemberitaan tentang 250 kematian dan penyakit sebagai akibat mengkonsumsi kapsul Tylenol.

Jika dikaitkan dengan teori, isu akan muncul ketika ada gap atau kesenjangan antara harapan publik dengan aktivitas organisasi. Aktivitas organisasi atau dalam kasus ini adalah perusahaan Johson & Johson tentu diharapkan mampu memberikan manfaat kesembuhan bagi publik. Akan tetapi obat yang diproduksi oleh Johson & Johson justru mengakibatkan kematian pada masyarakat di Chicago. Dari sini kemudian isu bahwa Tylenol terkontaminasi racun sianida sehingga bisa menimbulkan kematian orang yang mengkonsumsinya.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa kasus yang terjadi pada Johnson & Johnson ini disebabkan oleh adanya isu tentang adanya racun sianida yang telah tercampur dalam kapsul Tylenol sehingga mengakibatkan kematian pada beberapa orang di Chicago. Isu ini kemudian membuat perusahaan mendapat banyak pemberitaan negatif dari media dan menimbulkan kepanikan banyak orang. Pada kondisi inilah perusahaan dapat disebut mengalami krisis.

4. Jenis dan Tahapan Isu


Dalam kriyantono (2012) terdapat beberapa jenis Isu berdasarkan sumber, dampak dan keluasan isu. Berdasarkan kasus yang menimpa Johnson & Johnson, maka dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa jenis isu seperti berikut.

a. Isu eksternal
Isu eksternal adalah isu yang mencakup peristiwa yang berkembang di luar organisasi yang berpengaruh langsung atau tidak langsung pada aktivitas organisasi. Isu pada perusahaan Johson & Johson disebut isu eksternal karena isu berkaitan dengan sianida yang terkontaminasi dalam produk kapsul Tylenol telah berkembang hingga keluar perusahaan dan menyebar kemana-mana sehingga menurunkan citra dan reputasi perusahaan di mata publiknya.

b. Isu universal
Isu universal adalah isu-isu yang mempengaruhi banyak orang secara langsung, bersifat umum dan berpotensi mempengaruhi secara personal. Seperti yang dialami oleh perusahaan Johson & Johson yang berkaitan dengan kepentingan dan keselamatan banyak orang. Isu tentang kapsul Tylenol tidak hanya mempengaruhi orang-orang yang telah mengkonsumsi namun pihak atau masyarakat lain juga turut memberi perhatian pada isu ini, bahkan menyebabkan banyak orang menjadi takut untuk mengkonsumsi obat-obat nyeri yang serupa dengan kapsul Tylenol.

c. Isu defensif
Isu defensif adalah isu-isu yang cenderung memunculkan ancaman terhadap organisasi, karenanya organisasi harus mempertahankan diri agar tidak mengalami kerugian besar. Isu pada perusahaan Johson & Johson juga termasuk isu defensif karena isu tentang produk Tylenol-nya telah menimbulkan ancaman besar bagi kelangsungan perusahaan yaitu timbulnya rasa kekhawatiran publik, hilangnya kepercayaan publik, serta kerugian berupa materi hingga jutaan dolar.

Jika dikaitkan dengan tahapan isu, Menurut Regester & Larkin (2008) kasus Tylenol pada perusahaan Johson & Johson dapat dikategorikan kedalam beberapa tahap isu, antara lain :

a. Tahap origin (potential stage)
Pada tahap ini, seseorang atau sekelompok orang mengekspresikan perhatiannya pada isu dan memberikan opini. Pada kasus Tylenol, tahapan pertama ditandai dengan mulai beredarnya kabar tentang kematian tujuh orang di Chicago yang diduga karena dalam kapsul Tylenol terdapat racun sianida. Kemudian disusul oleh berbagai pemberitaan di media tentang 250 kematian dan penyakit sebagai akibat mengkonsumsi kapsul Tylenol.

b. Tahap mediation dan amplifying (imminent stage/emerging)
Pada tahap ini, isu berkembang karena isu-isu tersebut telah mempunyai dukungan publik, yaitu ada sekelompok orang yang saling mendukung dan memberikan perhatian pada isu-isu tersebut. Berdasarkan jurnal ini, Wall Street Journal yang menulis: “perusahaan lebih memilih untuk kehilangan dalam jumlah yang besar daripada mengambil resiko hingga lebih banyak orang yang terkena”. Sehingga kemudian muncul gerakan “anti-perusahaan”. Dalam kasus ini tahap mediasi tidak begitu tampak.

c. Tahap organization (current stage dan critical stage)
Pada tahap ini publik sudah mulai mengorganisasikan diri dan membentuk jaringan-jaringan. Pada tahap current stage, isu berkembang menjadi lebih populer karena media massa memberitakannya berulang kali dengan eskalasi tinggi. Tahap ini terjadi ketika banyak media memberitakan tentang kematian warga Chicago akibat mengkonsumsi kapsul Tylenol yang mengandung asam sianida. Sehingga menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat setempat. Sedangkan pada tahap critical stage, terjadi ketika publik mulai terbagi menjadi dua kelompok, setuju dan menentang. Pada tahap critical stage publik mulai terbagi dalam dua kelompok setuju dan menentang. Pada tahap ini media massa menaruh perhatian pada Johnson & Johnson memberikan apresiasi terhadap perusahaan tersebut. Isu ini dapat diubah oleh Johnson & Johnson menjadi kesempatan membangun citra dan bukan menjadi penyebab jatuhnya reputasi perusahaan. Dalam kasus ini Johnson & Johnson menarikan kembali jutaan botol kapsul Tylenol. Perusahaan menghabiskan setengah juta dollar untuk memberitahu pihak dokter, rumah sakit dan distributor mengenai bahaya yang mungkin terjadi (Regester & Larkin,2008). Hal ini membuktikan bahwa Johnson & Johnson bertindak cepat saat krisis terjadi dan memiliki skenario kemungkinan terburuk dan bertanggung jawab atas publik mereka.

d. Tahap resolution (dormant stage)
Pada tahap ini, pada dasarnya perusahaan dapat mengatasi isu dengan baikkarena pertanyaan- pertanyaan seputar isu “dapat terjawab”, pemberitaan media mulai menurun, sehingga isu diasumsikan telah berakhir. Pada kasus Tylenol, tahap ini terjadi ketika masyarakat Amerika termasuk media massa memuji langkah-langkah yang diambil Johnson & Johnson itu. Kemudian Johnson & Johnson bangkit kembali dalam bisnisnya dan melanjutkan untuk meluncurkan produk Tylenol dengan kemasan baru dan memenangkan Silver Anvil Award dari Public Relations Society of America untuk penanganan krisis terbaik.

5. Jenis dan Tahapan Krisis


Jenis krisis yang terjadi pada perusahaan Johnson & Johnson adalah krisis malevonce. Menurut Kriyantono (2012:177) krisis malevonce terjadi apabila seseorang atau sekelompok orang mempunyai keinginan untuk menjatuhkan atau membahayakan organisasi, seperti sabotase. Jadi, krisis yang dialami oleh perusahaan Johnson & Johnsonadalah krisis malevonce karena krisis ini diakibatkan oleh ulah manusia yang entah tidak sengaja atau sengaja telah memasukkan racun sianida pada saat proses produksi obat Tylenol sehingga menimbulkan dampak yang sangat fatal yaitu kematian yang menewaskan 7 warga di Chicago yang selanjutnya disusul oleh 250 kematian dan penyakit akibat mengkonsumsi Tylenol. Krisis ini membahayakan perusahaan tidak hanya dari segi reputasi namun juga secara materi, perusahaan mengalami kerugian hingga jutaan dolar.

Secara umum krisis berkembang melalui tiga tahap (Coombs, 2010; Devlin. 2007; Smudde 2001). Tahapan tersebut adalah :

1. Tahap pra krisis (pre-crisis)
Tahap pra krisis terjadi ketika situasi serius mulai muncul dan organisasi menyadarinya. Pada tahap ini, anggota organisasi baik karyawan maupun pimpinan manajemen telah mengetahui tanda-tanda akan terjadinya krisis. Pada kasus Johnson & Johnsontahap pra krisis terjadi ketika ditetemukan racun sianida dalam produk kapsul Tylenol.

2. Tahap krisis (acute crisis)
Tahap krisis terjadi ketika situasi tidak dapat dimanajemen dengan baik oleh organisasi. Ketika berita korban meninggal akibat kapsul Tylenol mulai terdengar, Johnson & Johnson belum melakukan tindakan apapun. Sehingga berita mulai tersebar dan sebanyak 250 kematian dan penyakit diberbagai bagian di Amerika disangkut pautkan dengan efek bahaya tablet. Johnson & Johnson pun melakukan penelitian yang hasilnya menunjukan jika tablet yang terkontaminasi tidak lebih dari 75 tablet dan berasal dari satu batch produksi. Peringatan mengenai bahaya Tylenol pun menyebar hingga nasional, meskipun total korban meninggal ada 7 orang dan seluruhnya berada di Chicago saja.

3. Tahap pascakrisis (post-crisis)
Pascakrisis terjadi ketika krisis sudah terakumulasi dan organisasi berupaya mempertahankan citranya atau kehilangan citra tersebut. Masa ini dapat disebut masa recovery, dimana organisasi berupaya memperbaiki segala akibat yang ditimbulkan krisis. Manajemen krisis yang dilakukan oleh Johnson & Johnson adalah dengan menarik seluruh produksi yang berada dipasaran serta memberi peringatan kepada rumah sakit, dokter, dan distributor mengenai bahaya produk Tylenolnya. Perusahaan pun menahan diri untuk tidak memasarkan produknya hingga situasi dianggap telah aman dan orang yang mengkontaminasi produknya telah ditangkap. Perusahaan pun melihat peluang pasar yang terjadi akibat kasus yang menimpanya, perusahaan membuat kemasan produk anti sobek yang juga merupakan “mandat nasional” dan menjadi peraturan baru yang diberlakukan oleh administrasi makanan dan obat di Amerika. Segala langkah yang dilakukan oleh perusahaan Johnson & Johnson membuatnya mendapatkan penghargaan Silver Anvil Award dari Public Relations Society of America untuk penanganan krisis terbaik. Perusahaan pun telah memposisikan diri sebagai pemenang konsumen, perusahaan melakukan “konsep tanggung jawab sosial” dan mempertunjukkan keahlian komunikasi yang sulit.

6. Strategi yang Dilakukan Perusahaan


Strategi yang dilakukan perusahaan adalah menarik semua produk Tylenol dari masyarakat. Dalam pelaksanaannya, penarikan tersebut meliputi 32 juta botol kapsul Tylenol dari seluruh tempat di Amerika. Pelaksanaan penarikan itu juga dilakukan melalui iklan untuk menukar kapsul dengan tablet baru Tylenol. Ribuan surat penawaran dikirimkan kepada para penjual obat dengan pernyataan pernyataan yang sama dikirimkan lewat media massa.


Kasus Johnson & Johnson ini berbeda dengan kasus lainnya, karena pelanggaran dilakukan setelah produk keluar dari pabrik. Namun, Tylenol merupakan produk Johnson & Johnson sehingga perusahaan terjepit diantara kewajiban baik hukum, moral atau kedua-duanya dengan obat yang menyandang namanya telah mengambil korban jiwa manusia dan di pihak lain kerugian keuangan jika Johnson & Johnson mengambil tindakan penyelamatan jiwa manusia dengan menarik puluhan juta botol kapsul Tylenol dari peredaran.

Perusahaan juga melakukan perubahan kemasan baru yang menyerap biaya tambahan sebesar $ 2,4 sen per botol karena lebih canggih dan tidak bisa dibuka paksa. Biaya Kampanye penarikan stok lama termasuk biaya diskon untuk para dealer pun cukup besar, sekitar $40 juta. Keseluruhan biaya extra ini akhirnya menjadi $ 140 juta. Tambahan pula, Johnson & Johnson mengahadapi tiga tuntutan hukum, sehubungan dengan kasus kematian di Chicago, walaupun akhirnya berhasil memenangkan gugatan karena memang tidak ada kaitan kematian para korban bisa dibuktikan terjadi akibat kelalaian Johnson & Johnson.

Adapun langkah yang diambil oleh Johnson & Johnson secara ringkas adalah sebagai berikut :
  • Menarik semua penjualan dan pemasaran Tylenol di Amerika.
  • Melakukan pengujian terhadap delapan juta tablet kapsul Tylenol, namun ternyata tidak lebih dari 75 tablet yang terkontaminasi.
  • Menghabiskan uang hingga setengah juta dollar untuk perawatan rumah sakit para korban yang keracunan Tylenol sebagai bentuk pertanggungjawaban perusahaan.
  • Meluncurkan serta memasarkan kembali kapsul Tylenol dengan kemasan yang baru.

7. Kesimpulan


Adapun beberapa pelajaran dari kasus Tylenol antara lain:
  1. Perusahaan Johnson & Johnson telah menerapkan prinsip worst case-possible scenario. Hal ini menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam penanganan krisis karena perusahaan menerapkan prinsip skenario terburuk dengan rela mengalami kerugian dalam jumlah yang cukup besar untuk menyelamatkan korban yang mengkonsumsi obat tersebut serta menarik peredaran Tylenol.
  2. Perusahaan Johnson & Johnson telah melakukan respon dengan cepat dan tanggap, terbukti ketika kabar tentang tujuh warga Chicago yang keracunan potasium sianida akibat mengkonsumsi kapsul Tylenol, perusahaan langsung menarik semua penjualan Tylenol dan segera melakukan uji coba terhadap delapan juta kapsul Tylenol terkait dengan kandungan potasium sianida.
  3. Perusahaan Johnson & Johnson telah berprinsip menyelamatkan kepentingan publik. Hal ini terbukti ketika pihak perusahaan yang tidak segan untuk mengeluarkan jutaan dolar untuk membiayai perawatan dan pengobatan para korban yang keracunan potasium sianida. Hal ini berarti perusahaan lebih mengedepankan kepentingan publik daripada kerugian perusahaan.
  4. Perusahaan Johnson & Johnson telah mempunyai rencana komunikasi krisis. Hal ini terbukti ketika kabar tentang tujuh warga Chicago yang keracunan sianida akibat meminum kapsul Tylenol, perusahaan langsung memberikan pengumuman kepada publik bahwa perusahaan akan menarik semua penjualan Tylenol. Selain itu pihak perusahaan juga mendatangi FDA untuk melakukan ujicoba terhadap delapan juta kapsul Tylenol terkait dengan kandungan potasium sianida. Bentuk aliran informasi berupa pengumuman dan kerjasama dengan beberapa pihak tersebut bisa dikatakan sebagai upaya komunikasi krisis.
  5. Perusahaan Johnson & Johnson sudah bijaksana dalam melakukan pendekatan komunikasi dengan pendekatan hukum. Seperti yang kita tahu bahwa kasus yang dialami perusahaan ini berkaitan dengan keselamatan manusia, dimana keselamatan manusia tentu berkaitan dengan proses hukum. Berdasarkan hal tersebut segala kesalahan pasti harus dipertanggungjawabkan. Pihak perusahaan pun telah menunaikan tanggung jawab dengan cara membiayai perawatan rumah sakit korban dan melakukan terhadap semua produk Tylenol yang mengandung potasium sianida.
  6. Perusahaan Johnson & Johnson telah melakukan respon yang luar biasa dalam mengatasi krisis yang berkaitan dengan keselamatan banyak orang. Oleh karena itu perusahaan mampu melakukan manajemen krisis. Tidak heran jika media dan masyarakat menaruh simpati besar pada perusahaan. Karena kesigapan dalam penanganan krisis, perusahaan berhasil memenangkan Anvil Award dari Public Relations Society of America.
Demikianlah ulasan singkat mengenai Manajemen Krisis beserta Kasus Tylenol di Amerika Serikat (1982). Semoga dapat menambah wawasan kita dalam Public Relation mengenai Manajemen Krisis yang pernah terjadi pada masanya. Sekian dan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengalaman saya membuat tugas akhir makalah Call For Paper

Pada semester 6 yang ini saya melalui salah satu masa yang sangat menegangkan dalam hidup saya dimana saya harus diwajibkan dalam pembuatan ...