Jumat, 17 Mei 2019

ETIKA PR / KEHUMASAN

Etika Public Relation (Kehumasan)



Bagi sebuah organisasi yang menjalankan kegiatan bisnis, politik, pemerintahan, ekonomi, industri dan lain sebagainya tentunya membutuhkan kehadiran public relations yang piawai untuk membangun citra positif di benak publik sehingga akhirnya mampu membentuk opini publik. Kepiawaian praktisi public relations dalam membangun citra positif suatu organaisasi tentunya tidak hanya sekedar lip service semata namun harus diikuti dengan kemampuan dalam membedakan mana yang benar dan mana yang salah.

Terkait dengan hal tersebut, bagi sebagian besar orang, para praktisi public relations tak jarang dipandang selalu menggunakan cara-cara yang tidak etis dalam membangun citra sebuah organisasi. Bagaimanapun juga para ahli teori public relations telah menyatakan bahwa berbagai kegiatan public relations yang dilakukan oleh organisasi hendaknya juga mengandung etika, tanggung jawab sosial, dan keberlanjutan.

Etika secara umum mengandung arti prinsip-prinsip yang memandu manusia atau sebuah perilaku organisasi agar menjadi lebih bermoral secara tepat dalam berbagai situasi. Sebagaimana etika komunikasi bisnis, maka etika dalam kegiatan public relations juga sangat penting dalam menentukan berbagai kegiatan public relations yang tepat. Tindakan public relations yang beretika serta tepat dapat membangun kredibilitas dan kepercayaan organisasi di mata publik. Etika umumnya membedakan antara yang benar dan yang salah, termasuk di dalamnya adalah kejujuran, kesetiaan, keadilan, penghormatan, dan komunikasi secara langsung.

Di era komunikasi modern seperti sekarang yang serba digital, sebuah organisasi dituntut memiliki citra yang tepat di mata publik. Komunikasi online yang kini dilakukan oleh para profesional public relations melalui media sosial turut memberikan efek tersendiri bagi organisasi. Karena itu, setiap organisasi memanfaatkan kehadiran public relations guna membangun citra yang tepat namun dengan menghalalkan berbagai cara dan terkadang mengesampingkan aspek etika.

Namun perlu dipahami pula bahwa jika para praktisi public relations berperilaku secara profesional maka organisasi pun akan bertindak sesuai etika dan dengan sendirinya dapat mengurangi resiko organisasi berhadapan dengan permasalahan hukum. Karena itu, praktisi public relations harus memahami permasalahan hukum apa yang akan dihadapi nantinya ketika sedang membangun citra positif bagi organisasi dan bagaimana mereka bertindak secara etika dalam rangka mencapai tujuan public relations.

I. Pengertian Etika Public Relations


Pengertian etika (etimologi) berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat kebiasaan (custom). Etika biasanya berkaitan erat dengan perkataan moral yang merupakan istilah dari bahasa Latin, yaitu mos dan dalam bentuk jamaknya mores, yang berarti juga adat kebiasaan atau cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan) dan menghindari hal-hal tindakan yang buruk.

Etika dan moral hampir sama pengertiannya, tetapi dalam kegiatan sehari -hari terdapat perbedaan. Moral atau moralitas digunakan untuk penilaian perbuatan yang dilakukan, sedangkan etika digunakan untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang berlaku. Istilah lain yang identic dengan etika adalah sebagai berikut:
  • Susila (Sanskerta), lebih menunjukkan dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su).
  • Akhlak (Arab), berarti moral, dan etika berarti ilmu akhlak.
Sesungguhnya Etika tersebut merupakan studi tentang “benar atau salah” dalam tingkah laku atau perilaku manusia (Right or wrong in human conduct). Pengertian etika menurut beberapa pengamat, tokoh masyarakat, atau filsuf yaitu pendapat dari. I.R. Poedjawijatna, dalam bukunya Etika, mengemukakan bahwa etika merupakan cabang dari filsafat. Etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat ia mencari keterangan benar yang sedalam-dalamnya. Tugas etika adalah mencari ukuran baik-buruknya tingkah laku manusia. Etika hendak mencari tindakan manusia manakah yang baik.

Beberapa definisi etika yang telah dirumuskan oleh para ahli terkandung aspek moralitas dan kode etik. Berikut adalah beberapa pengertian etika, yaitu :

1. Ki Hajar Dewantara (1962)
Etika ialah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan, sampai mengenai tujuan yang dapat merupakan perbuatan.

2. Austin Fogothey
Dalam bukunya Rights and Reason Ethic (1953), etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik, dan hukum. Perbedaan terletak pada aspek keharusan. Etika berbeda dengan teologi moral karena bersandar pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi terbatas pada pengetahuan yang dilahirkan tenaga manusia sendiri. Etika adalah ilmu pengetahuan normatif yang praktis mengenai “kelakuan benar dan tidak benar” manusia dan dapat dimengerti oleh akal murni.

3. Definisi etika menurut William Lillie
Dalam bukunya An Introduction to Ethics adalah “The normative science of conduct of human beings living in societies is a science which judge this conduct to be right or wrong to be good or bad, or in some similar way. This definition says, first of all, that ethics is a science, and a science may be defined as a systematic and more or less complete body of knowledge about a particular set of related events or objects.”

4. James E. Grunig
Mendefinisikan etika sebagai sesuatu yang serigkali dipertukarkan dengan moral dan nilai karena pertanyaan terkait etika secara umum merujuk pada apa yang baik secara moral atau apa yang seharusnya dinilai. Moral merujuk pada tradisi kepercayaan yang telah ada selama beberapa tahun atau beberapa abad dalam sebuah masyarakat yang menekankan pada apa yang benar dan apa yang salah. Sementara itu, nilai merujuk pada kepercayaan tentang suatu obyek atau ide yang dipandang penting. Karena itu, lanjut Grunig, kita mempelajari etika untuk menentukan bagaimana untuk membuat penilaian moral dan penilaian nilai.

5. Karla K. Gower
Dalam Brautovic dan Brkan (2009) menyatakan bahwa etika adalah sekumpulan kriteria yang menentukan pengambilan keputusan tentang apa yang salah.

6. Albert S. Atkinson
Dalam Sandra M. Oliver melalui Handbook of Corporate Communication and Public Relations Pure and Applied (2004) menyebutkan beberapa definisi etika, yaitu:
• Etika merupakan studi tentang kode-kode etika standar dan penilaian moral.
• Etika merupakan sebuah risalah tentang moral.
• Etika merupakan sistem atau kode moral dari filsuf, agama, kelompok profesi tertentu.

Pengertian dan definisi etika dari para filsuf atau ahli tersebut di atas berbeda-beda pokok perhatiannya, antara lain:
  • Merupakan prinsip-prinsip moral yang termasuk ilmu tentang kebaikan dan sifat dari hak (The principles of morality, including the science of good and the nature of the right);
  • Pedoman perilaku yang diakui berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari kegiatan manusia. (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class of human actions);
  • Ilmu watak manusia yang ideal dan prinsip-prinsip moral sebagai individual (The science of human character in its ideal state, and moral principles as of an individual);
  • Merupakan ilmu mengenai suatu kewajiban (The science of duty).
Berkaitan dengan definisi atau pendapat para tokoh tersebut di atas tentang etika, dapat ditarik suatu kesimpulan secara umum bahwa “etika merupakan kumpulan tata cara dan sikap baik dalam pergaulan antar manusia yang beradab”. Pendapat lain berkaitan dengan etiket adalah tata aturan sopan santun yang disetujui oleh masyarakat tertentu dan menjadi norma serta panutan dalam bertingkah laku sebagai anggota masyarakat yang baik dan menyenangkan.

Para ahli filsafat mendefinisikan etika sebagai sebuah studi moral tentang apa yang dipandang benar dan apa yang dipandang salah yang mana dibatasi oleh kemampuan manusia dalam memberikan alasan. Keputusan yang kita ambil hanya dipandang baik oleh manusia manakala kita memiliki kemampuan dalam memberikan alasan.

Dari pengertian etika di atas, terutama yang dirumuskan oleh para ahli filsafat, dalam kaitannya dengan public relations, maka kita perlu dapat mengaplikasikan aspek-aspek filsafat dari etika secara aktual. Karena itu, Patricia J. Parsons dalam bukunya Ethics in Public Relations A Guide to Best Practice (2008 : 9) kemudian mendefinisikan Etika Public Relations sebagai “ … aplikasi dari pengetahuan, pengertian, dan penalaran terhadap pertanyaan tentang perilaku benar atau salah dalam praktik profesional public relations”.

Menurut James E. Grunig, para profesional public relations seringkali dihadapkan pada upaya untuk menanggulangi berbagai permasalahan etika sebagai individu yang membuat keputusan tentang kehidupan profesional mereka. Para profesional public relations juga harus memberikan pelayanan sebagai konsultan untuk membantu sebuah organisasi agar memiliki cara-cara yang etis, bertanggung jawab, dan keberlanjutan. Dengan demikian, etika public relations menekankan pada implikasi-implikasi etis dari berbagai strategi dan taktik yang diterapkan untuk mengatasi masalah yang dihadapi public relations dan komunikasi dari sebuah organisasi.

II. Prinsip-prinsip Etika Public Relations


Dalam buku Ethics in Public Relations A Guide to Best Practice, Patricia J. Parsons (2008 : 20 – 21) menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) prinsip atau pilar etika public relations, yaitu :

1. Veracity (to tell the truth)
Prinsip atau pilar pertama etika public relations sebagai industri komunikasi adalah menyampaikan kebenaran. Sebagai sebuah prinsip etika, konsep veracity (to tell the truth) atau mengatakan atau menyampaikan kebenaran merupakan tahap awal bagi dasar-dasar asumsi tentang berperilaku etis.

2. Non-maleficence (to do no harm)
Konsep non-maleficence (to do no harm) merupakan prinsip dasar perilaku moral. Sebagai salah satu pilar atau prinsip etika dalam bidang public relations, prinsip ini menyediakan satu analisis pertanyaan dari berbagai keputusan yang telah dipilih oleh organisasi sebelum organisasi tersebut memutuskannya. Pertanyaan itu adalah “apakah tindakan saya menyakiti orang lain?”. Hal ini bukanlah akhir dari analisis melainkan suatu langkah awal. Kita cenderung untuk menghindari melakukan hal-hal yang dapat menyakiti orang lain sebisa mungkin. Namun terkadang, apa yang kita lakukan dapat menyakiti orang lain walaupun tanpa kita sadari. Terkait dengan hal ini, apa yang kita lakukan tersebut bukan berarti kita berperilaku tidak etis kepada orang lain.

3. Beneficence (to do good)
Konsep beneficence (to do good) merupakan bentuk lain dari prinsip menghindari menyakiti orang lain namun lebih proaktif. Dengan mencari kesempatan untuk melakukan hal-hal baik dapat membantu dalam proses pembuatan keputusan tentang moralitas relatif dari berbagai kegiatan public relations. Misalnya, ketika mengembangkan program hubungan komunitas dengan cara mencari sponsor untuk kegiatan amal yang merupakan kegiatan yang dapat memberikan kebaikan bagi publik.

4. Confidentiality (to respect privacy)
Prinsip atau pilar berikutnya adalah confidentiality (to respect privacy) atau menghormati wilayah pribadi orang lain dengan tetap menjaga kerahasiaan informasi. Hal ini merupakan salah satu sifat pengambilan keputusan etis terkait dengan fungsi komunikasi publik. Dalam komunikasi publik, seringkali terjadi konflik antara kebutuhan untuk menyampaikan kebenaran dan prinsip kesetaraan dalam menjaga wilayah pribadi. Pengambilan keputusan yang etis tidak akan dapat dilakukan jika tidak diimbangi dengan tindakan nyata.

5. Fairness (to be fair and socially responsible)
Prinsip atau pilar yang terakhir dalam etika public relations adalah konsep fairness (to be fair and socially responsible) keadilan dan tanggung jawab sosial. Kita selayaknya mencoba untuk saling menghormati setiap individu dan masyarakat agar keputusan yang kita ambil adalah keputusan yang adil bagi semua pihak.

Kelima prinsip atau pilar tersebut merupakan pedoman bagi pengambilan keputusan etis dalam berbagai praktik public relations. Kelima prinsip atau pilar tersebut juga merupakan jembatan penghubung antara aspek teoritis dari etika sebagai bidang studi filsafat dan cara bagaimana teori-teori tersebut diwujudkan dalam tataran praktis.

III. Teori Etika Public Relations


Menurut Grunig, para profesional public relations mengalami berbagai permsalahan etis baik berupa pengambilan keputusan secara individu maupun perilaku profesional mereka. Para profesional public relations juga dihadapkan pada etika pengambilan keputusan strategis bagi sebuah organisasi. Karena itu, para ahli teori dan peneliti dalam bidang public relations mengembangkan teori etika public relations yang menyediakan prinsip-prinsip yang dapat digunakan oleh para profesional public relations sebagai konsultan etik bagi organisasi. Beberapa hal yang dilakukan diantaranya adalah:
  • Dengan melakukan kerjasama dengan pihak akademisi untuk memasukkan teori etika public relations ke dalam kurikulum.
  • Asosiasi public relations mengajarkan prinsip-prinsip etika public relations melalui program pendidikan dan seminar kepada para praktisi public relations yang tidak dipelajari dalam pendidikan formal.
Lebih jauh Grunig menjelaskan bahwa berbagai konsep dalam etika seperti kesetiaan, peran-peran sosial, nilai-nilai, sekresi, dan penyingkapan terkait dengan teori etika. Untuk itu, L. Grunig, J. Grunig, dan Dozier kemudian mengenalkan sebuah teori etika yang terinspirasi dari hasil kerja Pearson (1989) yang menggabungkan prinsip-prinsip teleologis atau konsekuensi etika dengan prinsip-prinsip deontologis atau aturan etika.

Adapun prinsip-prinsip dalam teori etika yang dimaksud adalah sebagai berikut :
  • Teleologi – etika profesional public relations yang mempertanyakan potensi konsekuensi dari keputusan organisasi terhadap publik.
  • Deontologi – etika profesional public relations kemudian memiliki kewajiban moral untuk membuka konsekuensi tersebut kepada publik yang terdampak dan untuk mengikatnya dalam bentuk dialog dengan publik tentang potensi keputusan organisasi.
Beberapa ahli teori lain yang juga mengembangkan teori etika public relations adalah S.A Bowen, K.R Place,R. van Es dan T.L Meijlink dan lain-lain.

IV. Kode Etik Public Relations


Tidak dipungkiri bahwa public relations dipandang sebagai sebuah metode komunikasi yang menggunakan cara-cara manipulatif guna membentuk citra positif sebuah organisasi di mata publik dan terkadang mengabaikan aspek-aspek etika. Hal ini tentunya merupakan salah satu indikator isu etika public relations bagi para profesional public relations.

Menurut Karey Harrison dan Chris Galloway (2005), para profesional public relations di dalam menjalankan tugasnya memberikan informasi terkait pengambilan keputusan mempertimbangkan beberapa hal yaitu pedoman dan model yang direkomendasikan termasuk di dalamnya kode etik public relations. Hal ini memang tidak menjamin etis tidaknya perilaku para profesional public relations, namun adanya pedoman atau kode etik dapat memberikan koridor bagi para profesional public relations dalam menjalankan tugasnya sebagaimana kode etik wartawan dalam ranah jurnalistik.

Para profesional public relations yang telah menerapkan model etika dalam tugasnya, maka akan dapat memilih cara-cara yang etis untuk membentuk citra sebuah organisasi. Karena itu, badan profesional public relations di seluruh dunia telah mengembangkan kode etik bagi para profesional public relations. Berbagai organisasi public relations seperti The Canadian Public Relations Society atau the International Public Relations Association telah memiliki kode etik tersendiri, begitu pula dengan Perhimpuan Hubungan Masyarakat Indonesia.


Kode etik public relation secara garis besar memiliki kelebihan berupa aturan yang mencakup seluruh aspek dalam public relations. Seluruh aspek kerja public relation telah benar-benar teratur dan terdisiplinkan. Beberapa Aspek itu antara lain:
  • Code of conduct – Etika perilaku sehari-hari terhadap integritas pribadi, klien dan majikan, media dan umum, serta perilaku terhadap rekan seprofesi.
  • Code of profession – Etika dalam melaksanakan tugas/profesi humas.
  • Code of publication – Etika dalam kegiatan proses dan teknis publikasi.
  • Code of enterprise — Menyangkut aspek peraturan pemerintah seperti hukum perizinan dan usaha, hak cipta, merk, dll.

V. Manfaat Mempelajari Etika Public Relations


Mempelajari Etika Public Relations dapat memberikan manfaat bagi kita diantaranya adalah sebagai berikut :
  • Memahami pengertian etika.
  • Memahami pengertian etika public relations.
  • Memahami prinsip-prinsip dalam etika public relations.
  • Memahami landasan teori etika public relations.
  • Memahami landasan dibentuknya kode etik profesi public relations.

VI. Etika Dalam Kegiatan Public Relations


Sebenarnya setiap kegiatan yang dilakukan oleh PR officer harus beretika karena tujuan umum dari berbagai kegiatan PR adalah cara menciptakan hubungan harmonis antara organisasi/perusahaan yang diwakilinya dengan publiknya atau stakeholder. Hasil yang diinginkan yaitu terciptanya citra positif (good image), kemauan baik (good will), saling menghargai (mutual appreciation), saling timbul pengertian (mutual understanding), toleransi (tolerance) antara kedua belah pihak. Jadi program kerja etika PR dilaksanakan melalui berbagai kegiatan yang diantaranya adalah :
  • Special event
  • Social marketing public relations
  • Marketing public relations
  • Press and media relationship
  • Business communication public relations
  • Advertising public relations
  • Crisis management and complaint handling public relations
  • Public relations writing
  • Public relations campaign
Kegiatan PR tersebut bukanlah pekerjaan yang sangat mudah, akan tetapi harus dikelola secara profesional dan serius serta penuh konsentrasi, karena berkaitan dengan kemampuan PR dalam manajemen teknis dan sebagai keterampilan manajerial agar dapat mencapai tujuan atau sasaran sesuai dengan rencana yang diharapkan.

Telah kita ketahui ciri hakiki manusia bukanlah dalam hal pengertian wujud manusia (human being), melainkan proses rohaniah yang tertuju kepada kebahagiaan yang menyangkut watak, sifat, perangai, kepribadian, tingkah laku dan lain-lain, serta aspek-aspek yang menyangkut kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia (Soekotjo, 1993:102).

Menurut Soekotjo (1993), karena itu dalam konteks hubungan di Indonesia, yang baik terlebih lagi sebagai insan PR, maka akan tampak betapa pentingnya faktor etika. Disebut orang penting karena sebelum melaksanakan hubungan manusia, sikap etis harus tercermin terlebih dahulu pada diri seorang humas yang profesinya banyak menyangkut hubungan manusia.

Terlebih lagi sebagai manusia Indonesia, yang sifat paternalistiknya masih tampak di mana-mana, sikap etis seorang pemimpin terhadap bawahannya menjadi sangat penting karena seorang pemimpin harus mencerminkan sikap seorang panutan yang akan disegani oleh bawahan dan rekan-rekan sekerjanya. Aturan pertama dan pokok dari segala etika: Do what you want from others do to you?

Dalam hubungannya dengan kegiatan manajemen perusahaan sikap etislah yang harus ditunjukkan seorang humas dalam profesinya sehari-hari. Seorang humas harus menguasai etika-etika yang umum dan tidak umum antara lain:
  • Good communicator for internal and external public
  • Tidak terlepas dari faktor kejujuran (integrity) sebagai landasan utamanya
  • Memberikan kepada bawahan/karyawan adanya sense of belonging dan sense of wanted pada perusahaannya (membuat mereka merasa diakui/dibutuhkan)
  • Etika sehari-hari dalam berkomunikasi dan berinteraksi harus tetap dijaga
  • Menyampaikan informasi-informasi penting kepada anggota dan kelompok yang berkepentingan
  • Menghormati prinsip-prinsip rasa hormat terhadap nilai-nilai manusia
  • Menguasai teknik dan cara penanggulangan kasus-kasus, sehingga dapat memberikan keputusan, dan pertimbangan secara bijaksana
  • Mengenal batas-batas yang berdasarkan pada moralitas dalam profesinya
  • Penuh dedikasi dalam profesinya
  • Menaati kode etik humas
Etika Kehumasan atau Etika Profesi Humas merupakan bagian dari bidang etika khusus atau etika terapan yang menyangkut dimensi sosial, khususnya bidang profesi (Etika Profesi Humas). Kegiatan Humas atau profesi Humas (Public Relations Professional), baik secara kelembagaan atau dalam struktur organisasi (PR by Function) maupun individual sebagai penyandang profesional Humas (PRO by Professional) berfungsi untuk menghadapi dan mengantisipasi tantangan ke depan, yaitu pergeseran system pemerintahan otokratik menuju sistem reformasi yang lebih demokratik dalam era globalisasi yang ditandai dengan munculnya kebebasan pers, mengeluarkan pendapat, opini dan berekspresi yang lebih terbuka, serta kemampuan untuk berkompetitif dalam persaingan dan pasar bebas, khususnya di bidang jasa teknologi informasi dan bisnis lainnya yang mampu menerobos (penetration) batas-batas wilayah suatu Negara (borderless), dan sehingga dampaknya sulit dibendung oleh negara lain sebagai target sasarannya.

Etika dalam industri PR juga dapat dikatakan dengan etika sosial. Etika sosial adalah menyangkutkan hubungan manusia yang mempunyai sikap kritis terhadap setiap pandangan-pandangan dunia dan ideologi-ideologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup. Dalam pengertian etika sosial ini juga berkaitan dengan etika profesi, etika profesi adalah aturan-aturan yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap dan sesuai, tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan dan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek.

VII. Etika dan Citra (Image) Dalam Public Relations


Pentingnya pemahaman etika bagi para pejabat humas karena menyangkut penampilan (profile) dalam rangka menciptakan dan membina citra (image) organisasi yang diwakilinya.
Dua konsep penting dari humas tersebut diidentifikasikan oleh G.Sachs dalam karyanya The Extent and Intention of PR/Information Activities sebagai berikut: “Citra (image) adalah pengetahuan mengenai kita sikap-sikap terhadap kita yang mempunyai kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda. Penampilan (profile) adalah pengetahuan mengenai suatu sikap terhadap kita yang kita inginkan mempunyai ragam kelompok kepentingan”.

Penjelasan G. Sachs, yang disitir Effendy (1998), dapat disimak bahwa citra adalah dunia sekeliling kita yang memandang kita. Penampilan adalah definisi kita sendiri dari titik pandang mengenai kita. Sifat penampilan selalu berorientasi ke masa depan, dan citra menimbulkan efek tertunda serta menjadi subyek berbagai kendala dan gangguan. Sehubungan dengan informasi dan komunikasi itu, timbul beberapa pertanyaan: informasi apa yang dikomunikasikannya, siapa yang mengkomunikasikannya, siapa yang menjadikan sasaran komunikasinya, dan lain sebagainya.

Dalam hubungannya dengan citra penampilan, tampak bahwa citra dan penampilan tidak pernah serupa dan tidak pernah tepat. Citra menjadi sasaran faktor-faktor yang sama sekali di luar kontrol kita. Mengenai faktor-faktor yang dapat kita pengaruhi dan yang mempengaruhi citra kita, jelas bahwa kegiatan pengkomunikasian informasi yaitu cara menyalurkan penampilan kita sangatlah penting karena merupakan kebijakan informasi.

Citra dan penampilan dalam kaitannya dengan etika dan nilai-nilai moral sudah disadari dan dipermasalahkan sejak lama, sejak humas dikonseptualisasikan, lebih–lebih setelah didirikan International Public Relation Association (IPRA). IPRA Code of Conduct, yaitu kode etik atau kode perilaku dari organisai humas internasional itu, diterima dalam konvensinya di Venice pada bulan Mei 1961. Berikut ini adalah ikhtisar dari kode etik tersebut:

1. Integritas pribadi dan profesional
  • Standar moral yang tinggi
  • Reputasi yang sehat
  • Ketaatan pada konstitusi dan kode IPRA
2. Perilaku klien dan karyawan
  • Perlakuan yang adil terhadap klien dan karyawan.
  • Tidak mewakili kepentingan yang berselisih bersaing tanpa persetujuan.
  • Menjaga kepercayaan klien dan karyawan.
  • Tidak menerima upah, kecuali dari klien lain atau majikan lain.
  • Menjaga kompensasi yang tergantung pada pencapaian suatu hasil tertentu.
3. Perilaku terhadap publik dan media
  • Memperhatikan kepentingan umum dan harga diri seseorang
  • Tidak merusak integritas media komunikasi
  • Tidak menyebarkan secara sengaja informasi yang palsu atau menyesatkan
  • Memberikan gambaran yang dapat dipercaya mengenai organisasi yang dilayani
  • Tidak menciptakan atau menggunakan pengorganisasian palsu untuk melayani kepentingan khusus atau kepentingan pribadi yang tidak terbuka.
4. Perilaku terhadap teman sejawat
  • Tidak melukai secara sengaja reputasi profesional atau praktek anggota lain.
  • Tidak berupaya mengganti anggota lain dengan karyawannya atau kliennya.
  • Bekerja sama dengan anggota lain dalam menjunjung tinggi dan melaksanakan kode etik ini.
Demikianlah ulasan singkat mengenai Etika Public Relation (Kehumasan). Semoga dapat dipahami dan tentunya dapat menambah wawasan bagi kalian yang sudah membacanya. Mohon maaf jika ada kesalahan, sekian dan terimakasih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengalaman saya membuat tugas akhir makalah Call For Paper

Pada semester 6 yang ini saya melalui salah satu masa yang sangat menegangkan dalam hidup saya dimana saya harus diwajibkan dalam pembuatan ...